Matahari yang terik bersinar, suara mobil yang saling bersahutan dan asap yang mengotori udara di sekelilingnya. Di tengah-tengah semua itu, orang-orang menurunkan barang bawaan mereka dari bus, menaiki angkutan umum lainnya dan menuju ke halte masing-masing, dan masih ada orang-orang yang duduk di kursi di halte.
Saya sendiri sedang berdiri di depan halte bus. Menenteng tas dan koper yang penuh dengan pakaian, uang dan makanan ringan. Mata saya menerawang ke segala arah, mencari orang yang ingin saya temui. Tak lama kemudian, pria itu akhirnya datang dan berjalan ke arah saya sambil tersenyum. Dia menepuk pundak saya.
‘Hai kawan! Bagaimana perjalananmu dari Kebumen?
‘Lancar, tapi saya sempat mabuk perjalanan tadi malam. Saya menjawab singkat.
‘Aldi… ‘Aldi… ‘Kamu selalu mabuk kalau naik mobil. Katanya sambil menepuk pundak saya.
Saya hanya tersenyum dan mengikutinya ke sepeda yang diparkir di sudut halte. Dia mengambil sepeda dan membawa saya pergi dari halte.
‘Mas Damar, bagaimana kabarnya? ‘ tanya saya ketika motor sudah berjalan pelan menuju jalan raya.
‘Tapi beberapa bulan lagi kontrak saya di Jakarta habis. ‘Tapi kontrak saya di Jakarta akan habis beberapa bulan lagi. Mas Damar sambil menghisap puntung rokoknya sambil menyetir berkata.
‘Itu karena saya mau tidak mau harus berintegrasi dengan lingkungan yang mengharuskan saya keluar dari zona nyaman. Dulu, saya masih bisa menikmati waktu saya di kampung halaman, menikmati canda tawa dan kasih sayang keluarga. Saya sangat santai, tidak terbebani oleh beban hidup dan merasakan kelelahan yang berkepanjangan. Kini tiba saatnya untuk lulus dan menginjakkan kaki di jalan yang baru.
Setelah hampir setengah jam perjalanan, akhirnya saya tiba di rumah kontrakan saya. Mas Damar sudah memesankan kamar yang akan saya tempati. Ia sudah hampir tiga tahun bekerja di Jakarta dan mengontrak tempat ini. Dia adalah tetangga saya di kampung, lima tahun lebih tua dari saya. Saya langsung masuk ke kamar dan membereskan barang-barang di dalam tas. Kemudian saya berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit dan memikirkan masa depan saya yang tidak menentu.
Jakarta adalah kota di mana saya harus mengadu nasib. Saya harus melangkah untuk menemukan jati diri saya demi orang tua dan adik-adik saya. Berbekal sedikit uang dan doa dari keluarga. Apakah saya bisa membahagiakan orang-orang yang saya cintai? Apakah saya bisa sukses di tanah rantau ini? Saya hanya lulusan SMA dan belum pernah bekerja. Tetapi jika saya tidak bekerja, siapa yang akan menghidupi keluarga saya sementara orang tua saya menjadi tua?
Roda kehidupan saya terus berputar dan waktu terus berjalan. Menit berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Saya berada di kedalaman keputusasaan. Di bawah terik matahari, saya menarik napas panjang. Surat lamaran yang saya pegang menjadi lusuh, keringat menetes dan air mata membasahi pipi. Tidak ada perusahaan, tidak ada kantor, yang mau menerima lamaran saya. Apakah karena saya hanya lulusan SMA? Apakah kota yang padat ini hanya membutuhkan karyawan yang berpendidikan dan berkualifikasi tinggi?
Dalam perjalanan pulang, karena merasa lelah, saya memutuskan untuk berteduh di bawah pohon sejenak. Tiba-tiba, telepon genggam saya berdering dan saya menyadari bahwa orang yang menelepon saya adalah orang yang paling saya sayangi. Ibu.
Dengan gugup saya menjawab panggilan dari ibu saya.” “Halo, Ibu… Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam, anakku. Bagaimana kabarmu di Jakarta? Ibu bertanya dengan nada ramah.
‘Alhamdulillah, aku baik-baik saja, Bu. ‘Bagaimana kabar ayah, ibu, dan adik-adikmu?
‘Ya, mereka baik-baik saja. ‘Apakah kamu sudah mendapatkan pekerjaan di Jakarta? ‘Saya mau tanya apakah sudah dapat pekerjaan di Jakarta.
Saya diam saja. Saya merasa bimbang apakah saya harus mengatakannya kepada ibu atau merahasiakannya. Akhirnya, saya mengatakan yang sebenarnya kepada ibu saya. Ibu sedikit terkejut. Dia sedikit terkejut karena setiap kali saya melamar pekerjaan, saya selalu ditolak. Saya menceritakan semuanya mulai dari awal melamar hingga hari ini. Ketika ibu mendengar hal ini, dia tidak marah. Dia menasihati dan mendukung saya, mengatakan bahwa saya akan selalu menemukan pekerjaan yang sesuai dengan bakat saya. Masa lalu adalah ujian dan selama saya tidak menyerah di sepanjang jalan, usaha saya untuk melamar akan dihargai. Mendengar kata-kata ini sangat melegakan dan membangkitkan semangat saya.
Setelah menelepon, saya bergegas pulang ke rumah. Di tengah perjalanan, saya melihat selebaran lowongan pekerjaan di batang pohon. Itu adalah sebuah restoran yang tidak jauh dari tempat tinggal saya yang sedang mencari juru masak berusia 18-23 tahun dengan ijazah SMK atau SMA ke atas. Saat itu saya masih berusia 18 tahun, jadi mungkin ini adalah kesempatan yang baik untuk mendapatkan pekerjaan. Padahal, memasak bukanlah keahlian utama saya. Saya laki-laki, tapi ibu saya selalu mengajarkan saya apa yang bisa saya lakukan untuk setidaknya mempermudah pekerjaan perempuan.
Mulai Beradaptasi di Tanah Rantau Dengan Bermain Judi Online
Keesokan harinya saya pergi ke sebuah restoran. Saya bertemu dengan pemilik restoran dan tidak lupa memperkenalkan diri. Saya kemudian menunjukkan surat lamaran dan dokumen-dokumen yang saya siapkan semalam. Pemilik rumah makan tersebut bernama Pak Husen. Beliau sangat ramah dan saya merasa nyaman bekerja di sini.
Beberapa hari kemudian saya menunggu kabar dari Pak Husen. Saya mulai bekerja keesokan harinya dan saya sangat senang. Saya menelepon ibu saya dan memberitahukan kabar baik ini. Ibu saya sangat senang dan berterima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk bekerja di Jakarta.
Keesokan harinya saya pergi bekerja. Saya mengikuti semua instruksi Pak Hussen. Jika ada yang kurang jelas, saya meminta teman kerja saya untuk mengajari saya. Ada yang bersedia membantu saya memasak agar masakan saya enak. Namun ada juga yang menatap saya dengan tatapan jutek atau cemberut, seakan-akan tidak suka melihat saya di tempat seperti itu. Saya tidak bereaksi banyak, karena dapat melakukan pekerjaan saya adalah hal yang paling penting bagi saya, tetapi akhirnya saya merasa tidak nyaman, seolah-olah mereka menggosipkan saya di belakang saya.
Hampir sebulan saya bekerja di restoran Pak Husen dan mulai mahir memasak. Suatu hari saya membuat kesalahan pada menu di salah satu meja dan Pak Husen memarahi saya. Restoran saat itu sangat ramai dan saya sangat gugup sehingga saya menyajikan menu yang salah. Ini adalah pertama kalinya saya dimarahi oleh Tuan Hussen yang biasanya ramah. Saya meminta maaf kepada Pak Hussen dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Dunia kerja tidak sebaik yang saya bayangkan. Saya menekan emosi saya dan membasuh wajah saya dengan air. Saya melihat ke cermin dan berkata pada diri saya sendiri. ‘Saya salah. Biarlah ini menjadi pelajaran bagi saya untuk menjadi lebih baik. ‘
Sebulan setelah saya mulai bekerja, saya mendapatkan dua juta rupiah pertama saya. Saya merasa sangat senang, memasukkan uang tersebut ke dalam dompet dan berbaring di tempat tidur. Ketika saya memejamkan mata, selang beberapa waktu saya membuka hanphone saya dan mulai belajar mencari situs judi online untuk saya mainkan dan hitung hitung menghilangkan rasa bosan ketika di kamar beserta mencari tambah – tambahan uang setiap harinya, tiba – tiba Mas Damar mengetuk pintu kamar saya. Ketika saya membuka pintu, dia berkata. ‘Aldi, kontrak kerja Mas Damar sudah habis. Dia akan segera pulang ke rumah. Bisakah kamu jaga diri di sini?
‘Jangan khawatir, Aldi sudah dewasa dan mandiri. Insya Allah Aldi bisa menjaga dirinya sendiri di sini’. Jawabku sambil berusaha tetap tersenyum.
Mas Damar membelai rambutku dan menasehatiku untuk tetap tegar. Dia menyemangati saya. Mas Damar kemudian kembali ke kamarnya untuk beristirahat.
Sebenarnya aku merasa kesepian di rumah kontrakan ini. Bukannya aku tidak punya teman, tapi aku tidak punya teman di sini. Tidak semua dari mereka dapat dipercaya dan aku tidak bisa bercerita tentang masalahku kepada mereka. Mereka hanya tertarik pada hidup saya, mereka tidak peduli. Saya hanya bisa menyimpan semuanya untuk diri saya sendiri. Ketika saya merasa sedih dan sendiri disaat itulah saya mulai bermain judi online untuk membuang rasa lelah dan membosankan, saya juga tidak lupa untuk sholat karena Tuhan adalah satu-satunya tempat saya bisa mengadu dan berdoa.
Hari demi hari, panas atau hujan, saya tidak pernah berhenti datang ke tempat kerja tepat waktu. Tidak mudah untuk menjadi seseorang yang disukai orang lain. Bukan fisik atau penampilan Anda yang penting, tetapi kemampuan batin Anda. Berkat pendidikan ibu saya, saya bisa memasak apa pun yang saya inginkan.
Setiap bulan, saya selalu mengatur keuangan keluarga dengan biaya hidup dan tabungan saya di Jakarta dan hasil kerja keras saya untuk keluarga di kampung. Saya ingin membahagiakan orang tua dan adik-adik saya. Semakin lama saya melakukan hal ini, semakin saya menghargai semua yang saya jalani sekarang. Menjalani, mensyukuri, dan menikmati proses adalah prinsip hidup saya.
Namun, ada satu perasaan yang tidak bisa saya hilangkan. Perasaan itu adalah kerinduan. Sebuah kerinduan yang sangat mendalam karena sudah lama sekali saya tidak pulang ke rumah. Saya merindukan keluarga saya, terutama ibu saya. Saya ingin memeluk ibu saya dan mencium pipinya, meskipun perjalanan saya masih panjang. Saya menghela nafas dan mulai berpikir optimis. Besok, saat perayaan Hari Raya, saya akan pulang ke rumah. Saya akan bertemu dengan orang-orang yang saya cintai, membagikan ampaw di Hari Raya dan mengunjungi sanak saudara.
Di kamar kecil ini, saya melihat foto-foto keluarga di galeri. Saya tersenyum. Saya tidak bisa berhenti memandangi mereka. Hanya dengan melihatnya saja, saya merasa hangat. Di antara sekian banyak foto, saya langsung fokus pada satu foto. Di sebelah saya, dengan kemeja biru, adalah wanita yang sangat saya cintai. Ibuku. Itu adalah foto terakhir saya dengan ibu saya sebelum saya berangkat ke Jakarta. Saya merasakan air mata mengalir di pipi saya. Tanpa berlama-lama lagi, saya mematikan telepon genggam saya dan meletakkannya di meja samping tempat tidur. Jam menunjukkan pukul 10 malam dan saya sudah harus mulai bekerja esok pagi. Saya buru-buru mematikan lampu kamar. Saya melempar selimut ke atas tubuh saya dan memejamkan mata.
‘Ibu, aku sangat merindukanmu.
Seminggu sebelum Hari Raya saya mengajukan cuti kepada Tuan Hansen untuk pulang kampung dikarenakan ingin merayakan bersama keluarga, Alhamdulillah semua di izinkan oleh Tuan Hansen walaupun hanya boleh kembali ke kampung dengan tempo hari seminggu saja. Setelah pulang bekerja saya bergegas kembali ke kos saya dan dengan muka ceria menelepon orang yang saya sayang yaitu Ibu saya, disitu saya berbicara bahwa saya akan pulang kampung untuk merayakan Hari Raya bersama, dengan senang hati Ibu mendengarnya. Sesudah menelepon ibu saya kembali bermain Situs Judi Online di AJO999 dengan melakukan deposit 500 ribu untuk mengadu nasib sekalian menghilangkan suntuk, saya mulai bermain di Provider Pragmatic Play dengan permainan Olympus yang sering dibilang dengan ” Kakek Zeus “. Dengan berani saya memainkannya langsung bettingan 3000 ribu rupiah dan saya juga tidak menyangka mendapatkan scatter yang Alhamdulillah membuahkan hasil terbaik yaitu keluar pecahan perkalian 1000x dan langsung mendapatkan Jackpot terbesar saya dengan jumlah Rp45.000.000 ( 45 Juta ) di hari itu. Jujur saya sendiri sangat senang mendapatkan Jackpot ini dan bisa menyenangkan orang tua saya di kampung.